Rabu, 10 Juni 2009

LA LISANG DAENG JAI

Oleh : As`ad, S. Pd
PERTAMA

Sanggar merupakan nama sebuah kerajaan tua yang berada di sebelah utara Kabupaten Dompu dan sebelah barat kabupaten Bima dan berada di sekitar lereng gunung Tambora. Sanggar merupakan kerajaan yang damai dan kaya hasil alam yang bertempat di wilayah Boro.Kerajaan Sanggar diperkiraan sudah berdiri sejak abad ke 11 dan 12 (jaman prasejarah) dan keberadaanya baru tercatat sekitar abad ke 14 (jaman sejarah) seiring datang para Oreantalis Belanda sekitar tahun 1407 M. Puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Raja La Lisang Daeng Jai yang sakti mandraguna.La Lisang Daeng Jai merupakan Raja Sanggar yang ke tiga. Tanahnya yang sangat subur membuat Raja Sanggar dan rakyatnya pun sangat gemar bertani dan bercocok tanam serta berburu di hutan. Sosok La Lisang yang ramah dan bermasyarakat membuat pejabat kerajaan begitu segan kepada beliau dan La Lisang pun begitu di kenal dan dekat dihati rakyatnya.

Pada tanggal 10 s/d 11 April 1815, datang malapetaka laknat Allah SWT dengan letusan dahsyat gunung tambora yang menewaskan 90.000 jiwa dari enam kerajaan yang berada di pulau Sumbawa. Tiga kerajaan lenyap yakni kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar dan penduduk yang selamat hanya kerajaan Sanggar itupun dari jumlahnya 2200 orang yang selamat cuman 200 orang. Selain itu berdasar riset yang dilakukannya termasuk studi kepustakaan oleh pakar Sejarah dan arkeolog, pada waktu Tambora meletus, didapati 43 orang dari Kerajaan Tambora, 28 orang dari Kerajaan Pekat dan beberapa orang saja dari Kerajaan Sanggar yang dapat menyelamatkan diri dengan cara berlayar.
Letusan gunung api Tambora yang diperkirakan sebelum meletus tingginya 4.200 meter atau lebih tinggi dari gunung Rinjani di Lombok yang letaknya berada di utara Kabupaten Dompu atau bagian barat Kabupaten Bima yang terjadi pada tahun 1815 adalah terdahsat di dunia.
Akibat letusannya yang ukurannya 10 kali lipat dari letusan Krakatau, membentuk kaldera seluas 100 kilometer persegi, tinggi asapnya hingga 43 kilometer, mengeluarkan 400 juta kubik gas sulfur, belerang yang mempengaruhi daya tembus matahari ke bumi. Sebaran ketebalan muntahannya di sekitar lokasi gunung hingga 50 sentimeter yang menyebabkan tidak adanya tanaman yang bisa tumbuh. Akibat lainnya adalah hilangnya musim semi di Eropah dan hilangnya kota Tambora disebut sebagai Pompeii of the East. Pompeii dikubur sedalam 23 meter akibat letusan gunung Vesuvius di Italia.
Sanggar bukanlah sebuah kerajaan yang lenyap begitu saja, tetapi kerajaan yang hancur dan mampu berdiri kembali. La Lisang Raja Sanggar beserta Istri dan putranya merupakan bagiaan dari penduduk yang selamat. Selama lima tahun tanah tidak bisa di garap, air tidak bisa di pakai untuk kebutuhan hidup, tanaman dan semua potensi alam yang ada mengandung racun sehingga di pulau Sumbawa mengalami penderitaan dan kelaparan.Banyak suami menjual istrinya, orang tua menjual anaknya, hanya untuk ditukarkan dengan makanan. Banyak orang mati tergeletak di jalanan, tidak dikuburkan dan tidak disembahyangkan. Mayat menjadi mangsa burung, babi, dan anjing. Untunglah datang para pedagang dari luar sekitar Maluku, bahkan ada yang datang dari Cina, Belanda, dan Arab yang membawa bahan pokok seperti beras, jagung, gula, kacang, kedelai, dan lainnya untuk ditukarkan dengan barang yang mengandung emas dan perak, senjata, kain tenun, piring, mangkok, gembir, bahkan budak. Walau begitu panjang penderitaan yang harus dihadapi, namun dengan tekat dan kesabaran yang kuat ditambah kesaktian yang di miliki, Raja Sanggar La Lisang Daeng Jai mampu membangun kembali kerajaan Sanggar di Boro dan menjadi wilayah kerajaan yang sangat kaya potensi alamnya. Tanahnya yang sangat subur menjadikan Sanggar sebagai pusat pertanian, perkebunan, dan kaya hasil hutan.Selain itu memiliki hasil dan potensi laut yang banyak termasuk flora dan faunanya.Tak heran banyak kerajaan lain yang berada di pulau Sumbawa dan sebagian kerajaan di luar pulau Sumbawa melakukan penyerangan ke kerajaan Sanggar.


*****
Suatu ketika terdengar suara yang menggemuruh, binatang-binatang di hutan keluar dari sarangnya menuju perkampungan penduduk, hujan kerikil dan debu putih menyelimuti awan, Debu panas membakar mengarang, langit menjadi hitam dan gelap, matahari pun tak kunjung muncul, suatu pertanda meletusnya gunung Tambora. Raja dan keturunannya beserta rakyatnya lari berhamburan menjauhi pemukiman sambil membawa barang-barang seadanya yang masih bisa di angkat. Ada yang memikul beberapa padi di pundaknya, ada yang membawa panci, tembikar dan lainnya. Banyak anak kecil pria dan wanita terpisah dari orang tuanya, sibuk juga mencari dimanakah gerangan keluarganya. Mondar mandir kesana ke mari. Ada yang berlari menuju ke timur, bahkan ada juga yang ke arah selatan. Dalam suasana yang agak ricuh dan kalang kabut tersebut datang seorang pemuda yang berkulit sawo matang dan berbadan tinggi kekar menghampiri La Lisang Raja Sanggar beserta keluarganya ketika berada tidak jauh dari pusat pemukiman yang berada di bagiaan selatan pusat kerajaan Sanggar dan tempatnya di gunung (doro) Wawo Kabune.

“ Wahai Rajaku! Ayo segera kita beranjak dari tempat ini? Kata pemuda itu
“ Bagaimana dengan rakyatku? Apa mereka banyak yang selamat, pengawalku? Tandas Sang Raja dengan seraut wajah sedih dan lesu”
“ Sebagian kecil penduduk sekarang menuju Doro Bedi ( Sebuah gunung yang berada di selatan wilayah kerajaan Sanggar) dan yang lainnya tewas! Jawab pengawalnya (sambil mencoba membimbing La Lisang beserta keluarganya ke arah Doro Bedi)”
“ Aku titipkan anak dan istriku kepadamu. Segera bawa mereka ke Doro Bedi untuk berkumpul dengan rakyatku di sana! Perintah La Lisang ke pada sang pengawal sambil melepaskan genggaman tangan dari istri dan anaknya”
“ Nanti aku menyusul” tandasnya kembali sambil melihat ke arah perkampungan penduduknya.
“ Tapi..........!!!” sahut pengawal lagi. Khawatir rajanya kenapa-kenapa
“ Sudahlah ikuti perintahku! Aku akan melihat rakyatku yang masih selamat dan membawa apapun yang bisa di selamatkan” tandas La Lisang
“ Ananda takut sendiri tanpa ayahanda” kata putra La Lisang yang baru berumur 8 tahun dengan tangan masih di genggaman ibundanya.
“ Putra ayah tidak boleh menjadi penakut lagian ada ibunda mu yang akan menjagamu bersama mengawalku. Tunggu ayah di Doro Bedi ya ???” kata Sang Raja
“ Kami akan lekas pergi, Baginda hati-hati dan secepatnya menyusul kami! “ Kata permainsuri lemah lembut bercampur rasa khawatir.

Sebelum membalikan badannya, La Lisang dengan penuh kasih sayang mencium kening Istri dan Anaknya terlebih dulu.La Lisang pun melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah, dengan langkah kaki yang begitu cepatnya dan sepucuk keris terlihat di pinggangnya. Semak belukar begitu ramai menghadang, namun tak kunjung jua menghentikan langkahnya, jalan setapak juga dilewatinya menuju pemukiman, dilihatnya mayat-mayat yang bergeletakan berserakan di sepanjang jalan. Rumah-rumah penduduk berantakan, pepohonan layu dan mengarang. Semuanya hampir tertimbun Debu panas yang gerakannya begitu cepat dan tebal. Hampir tidak kelihatan jelas semua yang ada di sekitar. Beliau tetap bertahan sebentar walau begitu panas suasananya. Banyak tumbuhan yang terbakar mengarang termasuk juga mayat-mayat yang bergeletakan. Untung La Lisang memiliki kekuatan dan sakti mandraguna sehingga tubuhnya masih tetap utuh dan tidak terbakar. Disana beliau tidak menemukan seorang pun yang hidup. La Lisang pun lekas kembali menuju Doro Bedi sambil membawa kain tenun yang di temukannya di jalan. Di ikatnya kain tenun tersebut di kepalanya agar debu putih tidak mengotori rambutnya. Kembali dengan langkah kaki yang sangat cepat menuju selatan. Jalan setapak yang berliku-liku, naik turun dan curam di lewatinya.Semak belukar sesekali menghadang jalannya. Semuanya merupakan rute yang ditempuh La Lisang Daeng Jai.

Setelah berjalan sendiri hampir setengah hari, La Lisang raja Sanggar pun tiba di wilayah Doro Bedi. Langit yang sudah gelap dari pagi semakin gelap saja tanpa bintang-bintang yang menyinari, pertanda malam telah tiba. Begitu gelap gulita malam itu, tanpa penerang dan api, sunyi, sepi, tanpa sedikit pun makanan dan begitu dingin terasa menusuk ke dalam kulit terdalam, sehingga La Lisang Daeng Jai berinisiatif untuk istirahat sambil menunggu pagi karena kondisi tidak memungkinkan untuk mencari Istri, anak, dan rakyatnya yang berada di daerah Doro Bedi yang cukup luas itu. Di ambilnya sebatang kayu rapuh yang berada di sekitarnya, di potongnya kayu itu dengan tangannya yang sakti sekitar berukuran 30x10 Cm sebagai alas kepalanya. Kayu itu dililitnya dengan kain tenun yang di bawanya. Setelah itu membersihkan tanah yang tepatnya berada di bawah pohon Beringin yang tinggi besar untuk di jadikannya tempat istirahat, diambilnya pun dedaunan muda untuk alas tubuhnya.
*****
Terlihat sang fajar muncul menghiasi ruang langit di ujung timur sana, pertanda pagi kan segera tiba, namun sinar matahari tetap saja terkawal awan debu panas dan hasil letusan gunung tambora. Sang Raja La Lisang pun telah bangun dari tidurnya semalam. Di ambilnya kembali kain tenunnya, terlihat di sekelilingnya dedaunan penuh dengan debu putih sisa letusan sebelumnya. La Lisang pun melanjutkan pencariannya dan terus menelusuri jalan yang penuh semak belukar. Di tengah perjalanannya beliau menemukan bekas kayu yang di bakar pertanda keluarga dan rakyatnya sudah dekat. La Lisang terus berjalan mengikuti jejak yang di tinggalkan. Akhirnya sosok pengawalnya yang tinggi besar beserta sekelompok kecil masyarakat terlihat duduk lesu, kosong tanpa harapan,di sekitar mereka tidak ada yang bisa mereka makan untuk mengisi perut. Sumber air, tumbuh-tumbuhan, dan tanah semuanya mengandung racun akibat unsur-unsur beracun yang di muntahkan gunung Tambora. Sesaat memandang melihat ke arah sekeliling, panik dan khawatir dalam pandangan tidak terlihat istri dan anaknya. “ Dimanakah gerangan istri dan anak ku “ bisik hatinya. Tiba-tiba pandangan sang raja terpusat pada sebuah pohon yang daunnya cukup lebat dengan bunga putih di rantingnya yang wangi tapi agak layu menguning. Terkejut tapi langkahnya mengarah kepandangannya. La Lisang raja Sanggar pun mendekat, terlihat putra kesayangannya tergeletak lemah di pangkuan Ibundanya di bawah pohon Kamboja dan bersandar di bagian bawah batang, sakit dan kelaparan.Begitupun Sang permainsuri kelaparan dan kecapean. Terlihat bibirnya yang agak kecil mengering, muka yang begitu pucat dan kondisinya yang sangat lemah. Beliau pun mendekat dengan sedikit rasa panik,was-was dan menghampiri semuanya.Langkah kaki tak ragu lagi untuk di percepat menuju keluarganya. Semakin dekat semakin perlahan langkahnya.

“ Baginda kami sangat mengkhawatirkanmu dan anak kita selalu menanyakanmu” sambut permainsuri sambil memegangi kepala putra yang di rangkulnya.

La Lisang pun mendekat, perlahan tapi pasti dan penuh kekhawatiran begitu terlihat di langkahnya .Dirangkulnya anaknya yang sakit sambil menutupi tubuh anaknya dengan selembar kain tenun yang di bawanya. Putranya hanya memandang sang Raja dengan pandangan kosong karena kondisinya yang begitu parah dan lemah. Sedang sang permainsuri hanya terdiam sedih melihat kondisi anaknya.
“ Sabar ya istriku!! Anak kita masih bisa sembuh dan kita akan mengobatinya di sahabatku ” kata La Lisang

Permainsuri pun tak menahan lagi kesedihannya, di peluknya sang raja dengan erat beserta tangisan kecil yang mengeluarkan sedikit air mata pertanda kesedihannya. La Lisang pun membalas pelukan istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
“ Yang sabar ya..., sayang” ucap La Lisang. Perlahan dilepasnya pelukan sang Istri. Jari tangan kanan di arahkan ke muka permainsuri. Air mata yang keluar dari permainsuri di hapusnya dengan perlahan-lahan, dilanjutkan dengan mencium kening Istrinya. Pandangan kembali tertuju ke putranya yang sakit. Terlihat komat kamit mulut La Lisang membaca mantra, di arahkan nya telapa tangan kearah muka putranya. Doa untuk mengobati orang sakit pada waktu itu.

“ Kami semua turut berduka cita, Baginda Raja.” Kata pengawalnya sambil memegang pundak La Lisang. Satu persatu rakyatnya pun mendatangi La Lisang dan istrinya. Begitu ramai dan ramai oleh muka yang begitu pucat dan kondisi tubuh yang melemah. Itu terlihat di seluruh rakyat yang datang. Menambah daftar kesedihan La Lisang atas semua yang harus di hadapnya bersama rakyatnya.

Waktu itu banyak anak-anak yang seumuran dengan putra La lisang meninggal. Sedang yang lainnya hampir semuanya sakit dan kelaparan, termasuk juga Istri dan pengawalnya tadi. Mereka tidak memiliki kekuatan dan semakin lama kondisinya semakin lemah saja. Hanya yang masih kuat bertahan hanyalah La Lisang sendiri itupun karena beliau memiliki kekuatan yang sakti sehingga beliau tidak merasa cape dan kelaparan. Di raihnya pedang dari sang pengawal untuk mengambil sebuah kayu sebesar kaki dan meruncingkan salah satu ujungnya. Dipakainya untuk menggali lubang besar untuk menguburkan semua mayat putra dan warganya yang meninggal. keringat pun berjatuhan membanjiri sekujur tubuhnya yang terus menggali lubang, saat yang bersamaan pula tanah di keluarkannya dengan tangannya sendiri,sedikit demi sedikit semakin dalam dan luas galiannya dan memungkinkan semua mayat-mayat tadi dapat masuk.di lemparnya satu persatu mayat – mayat itu ke dalam lubang,..Diambilnya kembali batang kayu yang di runcingkan salah satu ujungnya tadi.Di masukannya tanah yang di galinya ke dalam makam untuk menimbunnya kembali, sesekali La Lisang menggunakan kedua kakinya memasukan tanah dan menginjak-injak tanah tersebut hingga padat kembali. Dipotongnya tangkai pohon Kamboja, di tanamnya pas di tengah-tengan makam sebagai tanda bahwa di sana adalah makam yang suatu ketika bisa di lihat kembali.Keringat yang begitu deras membasahi tubuh. Terlihat jelas tanah bekas galiannya menempel di kulit termasuk mukanya. Namun tanpa menghiraukan semuanya La Lisang tetap saja dalam benaknya memikirkan rakyatnya yang tidak ia tau nasibnya seperti apa. Begitu tegar dan sabar beliau waktu itu.
“ Pengawalku ! Apakah hanya sekelompok ini rakyatku yang hidup? “ kata La Lisang dengan suara yang begitu tenang.
“ Setahu saya sebagian penduduk Sanggar ada yang menuju wilayah kerajaan Dompu, Bima, dan ada juga yang menuju kerajaan Sumbawa.” Jawab pengawal sambil memegang perutnya yang sakit.Terlihat begitu lemah kondisinya namun tetap setia mendampingi La Lisang
“ Im......................” suara La Lisang ( sambil diam sejenak dan berpikir)

La Lisang dan Istri serta warganya yang hidup tetap bertahan dan membuat perkampungan kecil di sana. Di buatnya gubuk kecil dari kumpulan dedaunan yang di susun rapi dari tangkai-tangkai pepohonan yang diambilnya di sekitar. Berjejeran tempatnya dan ada juga yang terpisah tapi tidak terlalu jauh. Tiap saat ada saja yang meninggal akibat kelaparan dan penyakit yang ditimbulkan pasca letusan gunung Tambora. Begitu banyaknya yang meninggal kala itu. Tak kuasa sang raja menguburkannya sendiri seking banyaknya. Banyak mayat-mayat hanya di letakkan ketempat yang agak jauh dari pemukiman kecil warga.Tidak dikuburkan dan tidak di sembahyangkan.Menjadi makanan binatang buas seperti burung, babi, dan anjing. Kondisi permainsuri pun semakin lama semakin parah saja dan La Lisang tidak dapat berbuat banyak. Sedang putranya tanpa di duga sehat kembali dan begitu uat fisiknya.

“ Baginda saya tidak mampu bertahan lagi” ngeluh permainsuri seraya pasrah menerima takdir dari yang kuasa
“ Sabar ya..., Istriku” jawab La Lisang sambil merangkul istrinya yang lemah dan sakit itu. Terlihat paras kesedihan dan takut kehilangan di mukanya.
“ Orang tuaku dah datang menjemput. Pandangan aku gelap, Baginda” kata permaisuri lagi.
La Lisang pun diam sejenak. Di ciumnya kening sang istri dan di peluk eratnya tubuh permaisuri. Suhu tubuh yang sangat dingin dan badan yang kaku perlahan di rasakan La Lisang, ternyata Sang permaisuri sudah meninggalkannya selamanya. La Lisang raja Sanggar begitu tabah dan sabar, dengan ikhlas beliau merelakan kepergiannya.Namun terlihat sekucur air mata membasahi pipi putranya syamsudin.
“ Maafkan hamba Baginda, hamba tidak bisa membantu dan berbuat banyak buat baginda” kata Sang pengawal berkulit sawo matang
“ Kami semua turut berduka cita atas meninggalnya permaisuri” sambungnya lagi
“ Sudahlah ! kelian semua rakyatku bersabarlah dan semuanya hanyalah ujian. Kita bisa melewatinya bersama ko...!!” Jawab La Lisang sambil mendekati pengawal setianya dan warganya.
“ Sebentar lagi pasti datang bantuan sang penguasa Jagad raya dengan mengutus manusia yang di ciptakannya” tegasnya kembali penuh semangat memberi harapan ke rakyatnya.
“ Kelian semua istirahat dan bersabarlah! “ tambahnya lagi.
“ Maafkan kami, jadi menyusahkan Baginda” kata seorang wanita yang duduk di samping kanan pengawal.

Sambil tersenyum manis, La Lisang pun membalikan badannya, masuk ke hutan tuk mencari dan mengumpulkan kayu bakar bersama putranya, walau sudah seminggu beliau beserta rakyatnya belum makan.Ketika La Lisang sedang asik mengumpulkan kayu bakar, di dengarnya suara yang begitu asing diangkasa, tepatnya sebuah helikopter yang sedang memantau alam pasca letusan dahsyat gunung Tambora.. Namun La Lisang tidak menghiraukannya dan segera menuju ke kampung kecil penuh gubuk dedaunan.Di gesek-geseknya batu api dan di bakarnya kayu yang di bawanya dan telah di kumpulkan sebelumnya.Malam yang begitu sunyi dengan hadirnya pengawal dan sebagian warga duduk bersama La Lisang depan Api unggun yang di buat sang Raja.Tanpa mereka sadari ternyata asap yang di timbulkan dari api unggun itu di lihat oleh orang asal belanda dengan sebuah teropong yang posisinya masih di atas angkasa dengan sebuah helikopter. La Lisang dan rakyat larut dalam kesunyian malam. Di pertengahan malam mereka tidur lelap di sekitar api unggun yang masih menyala dan menghangatkan tubuh mereka dari dinginnya udara malam.



KEDUA

Pagi itu begitu beda, tidak seperti beberapa hari sebelumnya.Matahari masih tetap begitu biasa tanpa sinarnya yang terang .Dedaunan begitu kusut dan layu. Sumber air dan tanah begitu tercemar akibat gas beracun yang di muntahkan gunung Tambora. Sebagian besar penduduk sudah mulai di serang penyakit pasca letusan gunung Tambora. Tidak ada yang bisa di makan untuk mengenyangkan perut, semuanya mengandung racun. Tiap saat selalu saja ada yang meninggal, baik akibat kelaparan maupun karena penyakit yang di sebabkan partikel-partikel beracun dari gunung Tambora. Yang buat beda hadir di tengah mereka dua orang berkulit putih, berambut lurus pendek dan agak keputihan warnanya, begitu besar dan tinggi posturnya. Ya ....tingginya masing-masing 185 cm dan 198 cm.mereka ternyata warga Belanda yang datang dari Makasar. Bersama Helikopter yang di parkir di dekat pemukiman kecil itu, di bawanya sekarung beras, jagung , gula dan Air bersih , sebuah panci besar untuk memasak dan sedikit pakaian. La Lisang dengan sedikit kebingungan mencoba tuk menghampiri mereka sedang warganya yang lain hanya menatap kebingungan dan terheran-heran, bercampur rasa takut juga sih .
“ Kamu orang pemimpin di sini ya..( Bahasa Belanda).?” Sapa pria yang tingginya 198 cm. Mr Ronald namanya.
La Lisang diam sejenak tanpa kata. Ndak ada yang dimengerti apa yang di sampaikan warga Belanda tersebut.Hanya menatap tajam dengan tubuhnya yang tegak dan kokoh. Ketika di perlihatkannya beras dan beberapa bahan pokok yang di bawanya, La Lisang pun memahami maksud kedatangan warga asing tersebut.“ Apakah ini orang yang kamu utus untuk menolong kami ya penguasa jagad raya?” Bisik hati La Lisang.
“ Kami orang hanya ingin membantu kamu-kamu orang” kata Mr. Ronald. Mencoba menyampaian maksut kedatangannya kepada La Lisang

La Lisang masih tampak keheranan, tetap tidak memahami apa yang di sampaikan. Sambil mengatakan “Apa gerangan maksud pembicaraan kalian (Bahasa Kore)”. Kedua bule tersebut juga dibuat keheranan, tak mengerti apa yang dibicarakan La Lisang.
Kedua warga asing tersebut akhirnya menggunakan bahasa isyarat sambil menunjukan segenggan beras ke hadapan La Lisang. Sedang warga Sanggar lainnya masih di depan gubuknya dan tetap merasa khawatir dan takut. La Lisang Daeng Jai akhirnya memahami apa yang di sampaikannya. Diterimanya bahan sembako yang diberikan. Rasa syukur dan senang terpancar di muka La Lisang Raja Sanggar.
“ Kami sangat bersyukur dan berterima kasih atas bantuannya” kata La Lisang sambil menjabat tangan kedua warga belanda tersebut. Sedang Mr. Ronald dan rekannya walaupun tidak mengerti apa yang disampaikan La Lisang, tetapi dengan reaksi dari La Lisang dan Warganya, merekapun paham dan membalas dengan senyuman sambil menganggukan kepalanya.” Kamu orang baik-baik di sini ya! tandas Ronald sambil memegang pundak sang Raja.
Begitu lama warga asing tersebut bersama la lisang dan warganya. Kira-kira hampir 5 jam mereka di sana. Terlihat beberapa warga mendekati dan berada di sekitar helikopter. Mengelilinginya dan memandang dengan rasa aneh karna benda itu begitu asing buat mereka. Benar-benar ditunjukannya ke awaman dan kepolosannya. Tak begitu lama kebersamaan itu. Ke dua warga Belanda, Mr Ronald dan rekannya harus kembali pulang. Kembali menghidupkan helikopternya, berkeliling terbang di angkasa untuk memantau kondisi alam di wilayah lain. Sedang La Lisang dan warga memandangi helikopter tersebut sampai benda tersebut hilang dari pandangannya.

Begitu lain dan merupakan mukjizat besar bagi penduduk kala itu. Ada sepercik harapan kembali datang menghampiri mereka.Pasrah berubah menjadi tekat untuk hidup. Walau apa yang ada yang telah di berikan tidaklah cukup buat mereka, la lisang dan penduduknya untuk mempertahankan hidup.Namun timbul semangat baru dengan keyakinan pasti bahwa akan datang suatu masa dimana semuanya akan kembali normal dan berjaya kembali. Suatu penderitaan adalah ujian. Ketika mampu melewatinya, kebahagiaan merupakan keniscayaan yang pasti akan datang.

Matahari kembali pulang dari arah barat. Langit agak hitam kemerahan. Suasana gelap makin meruang di jagad raya. Di depan sekian gubuk yang atap dedaunannya semakin layu dan mengering, dibawah pohon senoklin dan pohon Kamboja, La Lisang, syamsudin putranya dan sebagian penduduk mengumpulkan kayu bakar dan membuat dapur sederhana. Menanak nasi dengan panci yang terbuat dari tanah. Air untuk kebutuhan minum yang begitu minim, di pakainya juga untuk menanak nasi. Begitu cerah muka La Lisang waktu itu, melihat rakyatnya yang kembali bersemangat dan cerah mukanya. Hari itu merupakan yang pertama bagi La lisang dan rakyat sanggar menikmati nasi dan makanan untuk mengisi perutnya yang kosong. walaupun cuman sesuap tapi cukup berarti dan membawa berkah kehidupan bagi penduduk.
“ Baginda silakan makan dulu, dari tadi baginda hanya memandangi rakyatmu yang makan . Belum ada sedikit makanan pun yang masuk di perut Baginda”.tandas pengawal setianya sambil menyodorkan sedikit nasi yang di simpannya di atas daun dengan ke dua tangannya kepada La Lisang.
La Lisang pun menerimanya tanpa menanggapi perkataan pengawalnya. Namun senyum kecil menghiasi kebahagiaannya waktu itu.
Suasana kebersamaan dan kekeluargaan sangat nampak di sana. Api yang dibakar pun menjadi penerang malam yang gelap dan penghangat tubuh dari dinginya udara malam.Sang dewi kayangan beserta dayang-dayangnya masih segan untuk menemani mereka, ikut merayakan kebahagiaan yang walaupun cuman sesaat. Sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung panjang dan sesaat saja, cuman seminggu lamanya.

Waktu terus berlalu, hari-hari menjadi sesuatu yang biasa di lewatkan. Menghadapi ujian dan penderitaan yang panjang dah menjadi kebiaasaan yang membutuhkan kesabaran. Tiap waktu tanpa terpikirkan sebelumnya, La Lisang dan rakyatnya sering kedatangan para pedagang luar daerah maupun pedagang asing yang memang sebelum melutusnya gunung Tambora mereka sudah memiliki hubungan dagang yang yang dekat dan bersahabat.
Selama lima tahun pasca letusan dahsyat gunung Tambora tanah tidak bisa ditanami, penduduk Sanggar dan penduduk kerajaan di pulau Sumbawa menderita dan kelaparan. Banyak pepohonan yang hangus terbakar kala itu, tanaman, dan seluruh sumber air yang ada mengandung racun. Selama itu tidak ada yang bisa diperbuat untuk keluar dari penderitaan tersebut, cuman sidikit jalan pintas dan itu pun mengorbankan yang lain. Banyak orang tua menjual anak perempuannya, seorang suami menjual Istrinya hanya untuk ditukarkan dengan makanan. Kala itu para pedagang yang datang ada yang dari maluku bahkan ada orang Cina, Belanda, dan Arab. Mereka membawa beras, gula, jagung, sagu, kacang, kedelai dan jenis makanan pokok lainnya yang ditukarkan dengan piring, mangkok, kain tenun, senjata, barang emas dan perak, gembir dan benda pusaka, termasuk juga budak.
Sering terdengar tangisan disekitar, tak mau dirinya menjadi korban kebiadaban penderitaan itu. Para wanita muda yang masih belia itu, harus rela walau tak menerima dirinya harus bersama orang asing. Menjadi objek dagang barter yang tak berharga.
“ Jangan pak ! aku tak mau pergi bersama orang asing ini.”
“Tidak, aku lebih baik mati kelaparan daripada harus pergi meninggalkan kampungku”
“ Jangan ! tolong.......tolong.......!!!”
“ lepaskan aku, brengsek ! ”
Kalimat-kalimat pahit yang sangat menyakitkan ditengah hiruk pikuk kejamnya dunia.Terdengar lewat teriakan lawan dan memberontak, tak mau begitu saja orang-orang kulit putih tinggi besar itu membawanya, tak sudi katanya. Para suami dan orang tua begitu tega menukarkannya dengan makanan. Walau tak rela juga mereka tetap tak menghiraukan. Tak ada lagi perasaan sayang dan cinta yang pernah terucap dan terjalin lama. Sedang mereka si kulit putih, juga ada beberapa yang berkulit sawo matang, dengan kekuasaannya waktu itu, tanpa sidikit pun rasa malu merampas yang bukan miliknya termasuk para wanita belia yang masih Virgin itu. Tak tanggung-tanggung, mereka juga merampok barang-barang berharga termasuk benda pusaka yang dimiliki warga .
Melihat fenomena tersebut, La Lisang tidak bisa melarang dan berbuat apa-apa untuk rakyatnya. Beliau hanya diam dan bersedih meratap kepedihan yang harus dipikulnya. Namun di tengah kesedihan itu, ia selalu di temani putra kesayangan dan pengawal serta beberapa orang yang masih setia kepadanya. Keseharian hanya mengumpulkan kayu bakar di hutan sambil mengontrol dan mengamati rakyat yang masih berada di wilayah Doro Bedi. Hal itu terus dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketegaran sampai pada saatnya tanah bisa di garap kembali dan sangat subur, air sudah bisa dipakai lagi, dan kekayaan laut, darat, dan hutan begitu kaya dan berlimpah.





Ketiga

Raja Sanggar dan keluarga berangkat ke nggembe bolo

Doro bedi merupakan tempat perkampungan kuno yang di bangun dan menjadi benteng pertahanan terakhir sanggar. Pasca letusan Tambora tempat tersebut tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi penduduk Sanggar yang mengungsi di sana. Ahirnya Raja dan sebagian penduduk mencari tempat yang aman sehingga mereka menyisir ke timur di Sanggompa sante dan akhirnya sampai Nggembe Bolo.
\Malam begitu terang benderang cahaya purnama menemani pertemuan mereka di Doro bedi. Raja Sanggar Mangga ruma dae jai beserta putranya Syamsudin daeng nganjo ruma kame’a duduk di batu besar di bawah pohon beringin sambil membicarakan secara bersama langkah apa yang harus mereka pakai dalam menghadapi wabah penyakit yang di timbulkan zat beracun letusan dahsyat gunung Tambora. Sang Permainsuri Delima Santi duduk bersama rakyat di tanah lapang mendengarkan dan bermusyawarah bersama dengan menghadap sang Raja dan calon putra mahkota.
“Wahai rakyatku begitu berat derita yang harus kita hadapi bersama, wabah penyakit terus menjangkit kita,apa gerangan yang harus kita lakukan sekarang ?”
“ Apakah kita harus bertahan di sini atau kita harus menyingkir tuk berobat di tempat lain?” tambah La Mangga ruma
“Apapun keputusan Baginda kita tetap mengikuti, di mana Baginda beranjak kamipun akan lekas mengikuti langkah baginda”, ungkap pengawal setia raja Ompu koro
“Bagaimana rakyatku apakah ada yang ingin memberi masukan? Jalan keluar kita menghadapi musibah ini”
“Maaf baginda mungkin sebaiknya untuk sementara kita mencari tempat yang aman? Terdengar suara lantang dari salah satu rakyat yang duduk di hadapan sang Raja
“Begini, Baginda silahkan mencari tempat yang aman untuk sementara bersama keluarga dan sebagian rakyat yang lain sedang sebagian dari Kami tetap disini di tanah kelahiran kami” Ungkap Ompu Koro kembali
“Baiklah kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kita kan menyisir ke arah timur ? jawab la Mangga

Malam kembali meruang, matahari perlahan mendalam terbenam. Mangga ruma raja Sanggar bersama penduduk kembali ke gubuk masing-masing. Api obor dari bambu menyinari menghiasi terangnya malam di gegubukan rakyat. Sebagian penduduk sanggar terutama Bapak , ibu, dan orang dewasa mengemas barang-barang yang masih bisa di bawa sebagai bekal dalam perjalanan dan bekal hidup selama pindah ke tempat lain. Sedang OmPu Koro dan beberapa orang dewasa lain sibuk juga untuk membagi tugas dalam mengatur keamanan dan menjaga ketahanan keberadaan kampungnya termasuk mencoba mencari cara untuk menghindari diri dari musibah penyebaran wabah penyakit hasil letusan gunung Tambora.

1 komentar:

  1. Dear Sir;

    Raja La Lira/Lisang Daeng Jai(before 1827-6-4-1837)is not the 3rd raja of Sanggar.I have 10 rajas before him.In 1632 there was already a raja of Sanggar.
    I can later give you the list of rajas of Sanggar.

    Hormat saya:
    DP Tick
    pusaka.tick@tiscali.nl

    BalasHapus